WHAT'S NEW?
Loading...

Pelayanan Perawat di Rumah Sakit Daerah Dikritik, Apa Solusinya?| Bloggout

Payakumbuh, Medianers ~ Di Amerika, tenaga kesehatan sangat menghormati hak dan privasi pasien, demikian pula pasien dan keluarga bila mereka tidak suka layanan petugas kesehatan yang merawat dan mengobati, pasien boleh mengganti dengan yang lainnya. Dan, paling penting pasiennya tidak melapor ke gubernur, ke walikota atau bupati, tapi melapor ke unit yang menangani "komplain" di rumah sakit.

Di Amerika semua warga negara dilindungi haknya, antara hak dan kewajiban berbanding sejajar. Termasuk untuk petugas kesehatan, misalnya bila Perawat, Bidan, Dokter, dan petugas kesehatan lainnya mengalami permasalahan saat melayani pasien, seperti pasiennya tidak "kooperatif" dan tidak bersahabat maka petugas kesehatan memiliki hak melaporkan ke manajemen rumah sakit, bahwa ia minta diganti pasien yang akan ia rawat dan obati dengan pasien lainnya, sedangkan pasien yang tidak kooperatif tersebut ditangani oleh Dokter dan Perawat lainnya. Hal demikian pernah penulis posting di medianers berdasarkan hasil wawancara dengan Idel Mesrawati, RN,BSN yang saat ini bekerja sebagai Perawat di Kaiser Permanente Hospital, California, USA.

Demikian pula bila ada permasalahan antara Perawat dengan manajemen rumah sakit, misal Perawat telah menjalankan kewajiban, namun haknya tidak ia dapatkan, atau Perawat dituntut melayani pasien diluar jatah/ kuota atau SOP yang telah ditetapkan maka Perawat berhak menolak dan melaporkan permasalahan tersebut ke Nursing Council , Kalau di Indonesia bernama Konsil keperawatan. Demikian sebaliknya, jika Perawat yang salah wajib pula menerima sanksi.

Di Indonesia, Konsil Keperawatan ini hingga kini belum terwujud, dari Undang-Undang Keperawatan Nomor 38 Tahun 2014 harusnya Konsil Keperawatan sudah terbentuk dalam bulan Oktober tahun 2016, merupakan dua tahun selesainya UU Keperawatan terbit Presiden telah menanda tangani lahirnya Perpres mengenai Konsil Keperawatan Indonesia. Nah, kini sudah tahun 2017. Apa permasalahannya hingga kini belum disahkan?

Apa hubungan Konsil Keperawatan menggunakan kualitas pelayanan Perawat kepada pasien dan rakyat ?

Tujuan dibentuk Konsil Keperawatan ini adalah, untuk meningkatkan mutu praktik keperawatan dan untuk memberikan pelindungan serta kepastian hukum kepada Perawat dan masyarakat. ( BAB IX, Pasal 47, Ayat 1, UU No. 38 Tahun 2014)

Dan, masih berdasarkan Undang-Undang Keperawatan, Konsil Keperawatan adalah suatu badan otonom, berdikari, non struktural yang bersifat independen. Orang-orang yang ada pada Konsil Keperawatan tertuang pada pasal 52, yakni : "Keanggotaan Konsil Keperawatan terdiri atas unsur Pemerintah, Organisasi Profesi Keperawatan, Kolegium Keperawatan, asosiasi Institusi Pendidikan Keperawatan, asosiasi Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dan tokoh warga . Jumlah anggota Konsil Keperawatan paling poly 9 (sembilan) orang."

Baiklah, kembali pada cerita pelayanan Perawat di Amerika, Nursing Council atau yang akan diadopsi oleh Indonesia, yaitu bernama Konsil Keperawatan memiliki kekuatan hukum yang diatur oleh Undang-Undang dan Peraturan Presiden (Perpres), jadi Konsil Keperawatan berwenang mencabut Surat Tanda Registrasi (STR) serta Surat Izin Praktek Perawat (SIPP) bilamana Perawat terbukti telah melakukan pelanggaran saat menjalankan tugas pokok dan fungsinya di pelayanan kesehatan.

Demikian juga halnya di Rumah Sakit, Nursing Council memiliki kewenangan menekan pihak manajemen Rumah Sakit, bilamana manajer rumah sakit mengabaikan hak-hak Perawat. Artinya, Perawat dilindungi dari tekanan diluar kapasitasnya, agar Perawat bisa bekerja dengan nyaman dan masyarakat/ pasien bisa mendapatkan kualitas pelayanan maksimal dari Perawat.

Apakah Konsil Keperawatan bisa menjawab segala konflik komplain pasien pada rakyat?

Mengamati kenyataan sosial ketika ini, semenjak zaman reformasi, bahwa tata kelola pemerintahan dari terpusat (sentralisasi) sebagai desentralisasi, terpecah-pecah pengelolaannya menurut wilayah masing-masing maka pelayanan kesehatan tidak mempunyai peraturan seragam, terutama pelayanan Rumah Sakit Umun Daerah milik Pemerintah Daerah/pemko. Penulis agak ragu, Konsil Keperawatan bisa mengintervensi kebijakan ketua daerah terhadap sistim manajemen tempat tinggal sakit terutama pengelolaan SDM.

Penulis melihat, setiap pertarungan dan komplain pasien pada petugas kesehatan, terutama Perawat, pribadi dilaporkan kepada kepala wilayah. Lantaran Kepala daerah mempunyai "powerdanquot; bagaikan raja mini terhadap daerah yang dipimpinnya. Idealnya, harus ada prosedur yang dilewati, karena petugas kesehatan jua memiliki hak sebagaimana warga yang menginginkan hak-haknya nir diabaikan, apabila diabaikan hak-hak energi kesehatan maka inilah yang sering kita tonton bahwa beragam dan terus membengkaknya keluhan rakyat terhadap pelayanan Perawat di tempat tinggal sakit.

Hak yg dimaksud adalah, rasio antara petugas kesehatan menggunakan jumlah pasien yang wajib dilayani sangatlah nir pantas, silahkan lihat pada setiap RSUD milik wilayah semenjak era BPJS diberlakukan, antrian mengular, bahkan buat menerima angka antrian famili pasien "batanggang" tiba sebelum ayam berkokok supaya bisa nomor .

Setelah dapat nomor antrian, pasien & keluarga jua berpeluh menunggu panggilan, baik pada poliklinik, juga pada apotik, perseteruan ini apakah disalahkan pada petugas kesehatan yang melayani? Atau dalam BPJS? Atau manajemen rumah sakit? Atau pada rakyat mengapa berobat ke RSUD? Tentu nir semudah itu menuding, apabila mau melihat lebih jauh tentu sine qua non evaluasi terkait perencanaan kenyamanan, fasilitas penunjang & aturan dana kesehatan, terutama RSUD.

Dokter, Bidan, Perawat memiliki ambang batas kejenuhan dalam melayani, sebagaimana pegawai kantoran yang punya jam istirahat. Di rumah sakit milik wilayah, dokter, apoteker, perawat, bidan, analis, energi administrasi, serta energi kesehatan lainnya mereka tidak punya jam istirahat. Mereka mampu istirahat jika kondisi pasien kondusif, & istirahat secara bergantian.

Adakah menurut kita & pengambil kebijakan memikirkan hal ini? Bahwa tenaga kesehatan juga mempunyai hak buat jam istirahat ketika bekerja. Dan, memberi waktu dan batasan melayani pasien ?

Hingga saat ini belum pernah penulis dengar, yg terdapat hanya menuntut & terus menuntut menaruh pelayanan maksimal dalam rakyat. Tapi, tidak mau tau bagaimana solusi buat membentuk/ menghadirkan terobosan agar energi kesehatan di RSUD diberi "senjata" agar mampu melayani menggunakan maksimal & berkualitas dalam rakyat. Yang mestinya, fasilitas, sarana, SDM dan segala kebutuhan anggarannya dipenuhi.

Penulis nir menyampaikan kesejahteraan, karena masih banyak diluar sana profesi lain yg masih terseok-seok, setidaknya yang penulis minta adalah saling menghargai, membuang jauh arogansi dalam energi kesehatan, serta intimidasi dan olok-olok di media. Tidak ada satupun niat tidak baik bagi kami saat melayani pasien, kami pula bangga manakala pasien yang kami layani puas, & aku eksklusif jua murung apa jika terdapat sejawat aku & energi kesehatan lainnya dihardik dengan cara-cara arogansi sang pejabat, preman juga oleh siapa saja.

Saatnya Menganggarkan Pembangunan Fasilitas Kesehatan Berbasis Digital

Tak bisa dipungkiri bahwa RSUD merupakan asal PAD terbesar wilayah, sementara aturan APBD untuk pembangunan RSUD itu sangat minim & terbatas. Terkait pembangunan fasilitas, wahana dan kebutuhan indera-indera medis berpandai-pandailah manajemen rumah sakit "mengemisdanquot; ke sentra, melalui aturan kesehatan Kemenkes. Anggaran yang ada pada Kemenkes belum tentu jua diperlukan "user". Dan, bila direktur keliru administrasi dan ceroboh maka siap-siap juga masuk tangsi, yang akhirnya manajemen rumah sakit takut mengambil dana dari sentra.

Coba search di google, dari jumlah total RSUD yang ada di Indonesia, adakah 20 persen memiliki website sebagai media informasi? Website saja tidak prioritas apalagi untuk membangun jaringan yang terintegrasi dengan masyarakat dan instansi terkait. Sebut saja aplikasi berbasis data, server milik sendiri yang bisa menampung registrasi online atau aplikasi sms online, dan lain-lain.

SIMRS (Sistim Informasi Manajemen Rumah Sakit) yang terintegrasi antara ruang satu dengan ruang lainnya telah adakah? Jika telah terdapat, apakah maksimal ? Ini yg belum tersentuh sama sekali. Bagaimana menggunakan sistim online antara poliklinik, apotik, & ruangan lainnya apakah mampu dikoordinir melalui jaringan nirkabel, tanpa antrian nan mengular?

Idel Mesrawati saat bekerja di Permanente Hospital, USA menggunakan alat komunikasi yang disebut spektra link, yaitu sebuah gadget khusus untuk alat komunikasi petugas yang wajib dimiliki dan diberikan oleh rumah sakit. Spektra link selain berfungsi sebagai alat komunikasi sesama petugas juga memiliki kegunaan untuk memantau tanda-tanda vital pasien. Monitor ekg yang terpasang di tubuh pasien, datanya akan disampaikan ke spektra link yang dipegang oleh masing-masing perawat dan dokter, baik saat jaga malam, maupun jaga pagi dan sore.

Saat Perawat/petugas tidak berada di samping pasien, bila ada perubahan tanda-tanda vital yang akan mengancam nyawa maka alarm spektra link mengirimkan data serta berbunyi bahwa pasien A sedang membutuhkan pertolongan. Inilah yang dibutuhkan Dokter dan Perawat saat ini, tidak melulu duduk di "nurse station" bagaikan pos ronda.

Laporan Perawat/Dokter terhadap catatan perkembangan pasien bisa diefisiensi melalui komputer yang telah terintegrasi dengan "medical record" (mr) antara ruangan satubdengan unit lainnya. Pasien dan keluarga tidak perlu lagi menenteng ini-itu untuk urusan pulang atau pindah ruangan, misal petugas diruangan A, hanya entry data dan bisa dilihat oleh loket pembayaran, maupun dihimpun datanya oleh bagian keuangan, urusan pasien beres dan klaim tagihan sudah terakumulasi ke BPJS, tanpa rumah sakit menyiapkan dokumen tagihan yang setinggi "gunung."

Artinya, diharapkan sebuah komitmen antara Pemerintah Daerah, manajemen tempat tinggal sakit dan BPJS buat membangun sistim layanan berbasis digital ini, termasuk sistim acum berdasarkan puskesmas ke tempat tinggal sakit, administrasinya bisa via online terintegrasi & nir perlu lagi pihak BPJS melakukan verifikasi cikal bakal penyebab antrian nan mengular.

Memang, membangun sistim fasilitas layanan kesehatan berbasis digital ini nir gampang, pula nir sulit asalkan pemangku kepentingan mau berkomitmen. Tapi, sayangnya membangun ini bukanlah kebijakan terkenal buat mendulang popularitas, lantaran efek " wahdanquot; nya nir terasa langsung hari itu juga, dibanding pencitraan tanpa butuh kapital seperti yang dilakukan "oknumdanquot; membentak-bentak energi kesehatan pada depan kamera. Tindakan tersebut sanggup mendongkrak popularitas, sebagai kapital perseteruan politik berikutnya.

Akhirnya, Perawat harus kembali mengingat masa lalu, bahwa pelopor ilmu Keperawatan, Florence Nightingale tidak ada dukungan dari siapa pun, termasuk keluarganya sendiri, saat memutuskan jadi Perawat, ia merawat korban perang, mendirikan Sekolah Perawat dan Bahkan aktifitasnya itu ditolak oleh keluarga. Tapi, atas pengabdiannya nan ikhlas, ia akhirnya dikenang dunia. Jadi sejawat Perawat tetaplah berbuat baik, meskipun dikasari, diintimidasi dan ditendang sekalipun, tetaplah berbuat baik, insha allah, malaikat akan mencatatnya.(Nurman)

0 comments:

Post a Comment

close
Banner iklan disini