WHAT'S NEW?
Loading...

Taat Membayar Iuran BPJS, Niatkan Sebagai Amal Jariyah| Bloggout

Medianers ~ BPJS Kesehatan menghadapi persoalan serius, diperkirakan tekor 32,8 triliun tahun 2019, sehingga berimbas pada menunggaknya pembayaran klaim ke pelayanan kesehatan. Seperti rumah sakit misalnya, hampir belum menerima pembayaran dari BPJS kesehatan sejak beberapa bulan terakhir. Hal itu dialami diberbagai propinsi dan kabupaten/ kota di Indonesia.

Namun, pelayanan kesehatan pada masyarakat masih berjalan hingga saat ini, (September 2019). Akan tetapi, riak-riak mulai muncul ke permukaan akibat dari terlambatnya pembayaran oleh BPJS kesehatan. Seperti di Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek Lampung (RSUDAM) contohnya, dihimpun dari berita rmollampung.com (6/9/2018) bahwa, 8 orang dokter spesialis menyurati manajemen terkait mereka keberatan melayani pasien BPJS Kesehatan di poliklinik, kecuali pasien tersebut emergency.

'Gelombang kecil' juga tersiar di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, tetapi pihak manajemen dan pemerintah daerah setempat berinisiatif meminjam uang sebanyak Rp 25 miliar ke Bank Jateng. Dana tersebut buat mengatasi tunggakan klaim BPJS Kesehatan. Tentunya, bisnis tadi bisa meredam 'riak-riak' mini pada pelayanan.

Jika dilirik di Kota Payakumbuh, Sumbar, tempat penulis berdomisili. Kasus tunggakan pembayaran dari BPJS Kesehatan jua mengalami nasib yang sama, bahwa sejak 6 bulan terakhir belum dibayarkan ke salah satu tempat tinggal sakit generik. Dan, syarat yang sama dirasakan pula rumah sakit partikelir.

Kondisi demikian, jua dikeluhkan galat seorang pegawai tempat tinggal sakit yang bekerja di Kota Payakumbuh, yg nir ingin dituliskan namanya. "Sejak bulan Maret 2019 kami belum mendapat jasa pelayanan Bang. Kata pihak manajemen, BPJS Kesehatan belum membayar, sehingga pencairan jasa pelayanan kami menjadi macet," ucapnya.

Sementara, BPJS Kesehatan Kota Payakumbuh mengakui pada media, sebagaimana yang diterbitkan covesia.Com bahwa, peserta BPJS menunggak membayar iuran mencapai 40.715.642.085 rupiah. Dengan rincian; Limapuluh Kota Rp18 miliar lebih, Tanah Datar Rp17 miliar lebih, Payakumbuh Rp lima miliar lebih.

"Besarnya iuran per hari ini selain memang banyak peserta yang enggan membayar juga karena masih banyak peserta yang belum melakukan iuran karena limit pembayaran iuran setiap tanggal 10," ungkap Fristy Lahira Defivenni selaku Kepala Bidang Penagihan dan Keuangan BPJS Kesehatan Cabang Payakumbuh, Kamis (5/9/2019) kepada wartawan covesia.com.

Artinya, rentetan macetnya pembayaran sang pihak BPJS Kesehatan Kota Payakumbuh ke tempat tinggal sakit dan ke pelayanan kesehatan lainnya, juga disebabkan sang menunggaknya pembayaran iuran sang peserta. Dan, perseteruan tadi nir mampu diselesaikan antara pihak rumah sakit dan pihak BPJS Kesehatan Kota Payakumbuh saja, sebab permasalahannya terbilang kronis.

Jika diamati tahun sebelumnya, apabila BPJS Kesehatan menunggak pembayaran kepada fasilitas kesehatan. Maka, dapat suntikan dana dari kementerian keuangan, dari data yang penulis himpun dari jawapos.com, sejak 2015-2018, pemerintah pusat telah menyuntikkan dana BPJS Kesehatan hingga Rp 25,9 triliun untuk menutupi defisit.

Rinciannya menjadi berikut, pada tahun 2015 sebanyak Rp lima triliun, 2016 sebesar 6,8 triliun dan pada 2017 sebanyak Rp 3,8 triliun. Sedangkan dalam tahun 2018, pemerintah menambal paling besar menurut tahun sebelumnya, yakni Rp 10,tiga triliun. Kendati akbar, tetap saja tidak sanggup menutupi tunggakan anggaran BPJS Kesehatan yg masih besar hingga tahun 2019.

Adapun planning pemerintah buat mengatasi masalah tadi menggunakan menaikan iuran kelas I menjadi Rp 160.000, kelas 2 Rp 110.000, dan planning itu telah disetujui pula sang DPR buat diberlakukan mulai tahun depan. Khusus kelas 3 naik sebagai Rp 42.000 dengan catatan data bermasalah telah diselesaikan. Kenaikan iuran peserta BPJS ini, juga mendapat kritikan dan penolakan berdasarkan beberapa rakyat. Namun, pemerintah bersikukuh hal demikianlah solusi terbaik buat mengatasi masalah defisit. Sebab, keuangan negara nir mampu lagi mensubsidi atau menambal tekor yang dialami BPJS saban tahun.

Sebetulnya, kenaikan iuran peserta BPJS Kesehatan, tidak berpengaruh bagi peserta PBI Jaminan Kesehatan. Sebab, PBI merupakan Penerima Bantuan Iuran. Yaitu peserta jaminan kesehatan bagi fakir miskin dan orang tidak mampu yg iurannya dibayari pemerintah sebagai peserta program jaminan kesehatan melalui aturan APBN. Jumlah PBI ini mencapai 96,6 juta jiwa, yg iurannya dibayar sang pemerintah pusat melalui APBN. Dan, sebesar 37,3 juta jiwa lainnya iurannya dibayarkan oleh pemerintah wilayah melalui APBD.

Menurut data boks katadata.co.id (2018) bahwa, jumlah peserta BPJS Kesehatan terbesar adalah peserta PBI, yakni mencapai 46,92% dari total peserta BPJS kesehatan. Kemudian peserta dari Pekerja Penerima Upah (PPU) swasta 27,92 juta jiwa (14,2%) dan Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) 27,65 juta jiwa (14,06%).

Artinya, sebanyak 46,92 persen peserta BPJS Kesehatan tersebut, iuran bulanannya sudah ditanggung oleh pemerintah. Sedangkan, yang lainnya ditanggung secara berdikari, baik sang perusahaan tempat mereka bekerja juga sang instansi tempat mereka mengabdi, menggunakan cara gajinya dipotong tiap bulan sang bendahara, lalu disetor ke BPJS Kesehatan.

Pembayaran iuran terasa memberatkan bagi peserta BPJS Kesehatan Mandiri yg menyetor secara eksklusif baik melalui transfer Bank juga membayar secara langsung ke tempat kerja BPJS kesehatan. Peserta jenis ini seringkali menunggak membayar iuran. Dihimpun berdasarkan kompas.Com menyatakan bahwa, "peserta berdikari BPJS Kesehatan penyebab defisit terbesar, yaitu tunggakan iuran peserta berdikari kurang lebih Rp 15 triliun selama tahun 2016-2018." Sementara, Klaim buat pengobatan peserta yg dibayarkan BPJS kesehatan mencapai Rp 27,9 triliun.

Bahkan, melalui siaran di kompas.com, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti di Jakarta, Minggu (8/9/2019) mengungkapkan, " saya mengajak masyarakat agar program JKN dapat berkelanjutan, maka kedisiplinan membayar iuran bagi peserta mandiri ini sangat penting," ajaknya.

Mengamati persoalan yg sedang dihadapi pemerintah, terutama disektor BPJS Kesehatan, telah saatnya masyarakat ikut membantu, berkontribusi supaya masalah dilematis ini mampu teratasi dengan cara taat membayar iuran tepat waktu, & hindari menunggak, sebab dampaknya sangat akbar, yg sanggup mensugesti roda perekonomian.

Jika masih berpangku tangan mengharapkan bantuan pemerintah berupa suntikan dana untuk mengatasi defisit BPJS kesehatan, rasanya mustahil sebab APBN pun defisit, dikutip dari cnbcindonesia.com bahwa, "sampai akhir Mei 2019, total defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 mencapai Rp 127,5 triliun atau 0,79% dari produk domestik bruto (PDB)." Jadi, sangat tidak mungkin mengatasi defisit BPJS ditambal dari anggaran APBN.

Maka, sudah sepatutnya peserta BPJS kesehatan meniatkan membayar tunggakan penuh kesadaran, membantu bangsa dan negara, karena iuran tadi juga sangat bermanfaat buat kelangsungan pengobatan rakyat Indonesia yg sedang menjalani terapi baik pada tempat tinggal sakit, maupun di layanan kesehatan lainnya.

Niatkan sebagai amal jariyah, waktu membayar iuran BPJS kesehatan, bahwa uang iuran tersebut aku niatkan menjadi amal jariyah buat membantu meringankan beban saudara aku yg sedang butuh pengobatan, dan membantu pemerintah yang sedang susah.

Dengan tujuan untuk mendulang amal jariyah yang bisa mendatangkan pahala bagi kita nantinya, walaupun sudah meninggal. Pendapat ini penulis kemukakan berdasarkan pendekatan agama, jika aturan diterangkan atau sanksi maupun denda sudah ada mekanismenya, namun tidak jalan. Tapi, kalau pendekatan keagamaan semoga bisa membangun kesadaran, demi Indonesia sehat. (Nurman)

0 comments:

Post a Comment

close
Banner iklan disini