WHAT'S NEW?
Loading...

"Mahkluk halus itu" ternyata bernama| Bloggout

Tahun baru saja berganti. Hidup bukan tambah mudah. Tantangan makin luas. Memanjang dan melebar. Di negeri ini, sulit sekali buat mencari loka yang bebas berdasarkan korupsi. Korupsi memang nir mengenal istilah skala akbar atau kecil. Korupsi mampu pada aneka macam bentuk. Uang, ketika, tenaga, atau materi lainnya.

Aku di purchasing, bagian import. Jadi nggak usah khawatir. Aku nggak kerja di tempat basah kok! Justru yang aku sekarang lagi bingungi adalah perusahaan di Indonesia ini banyak sekali manipulasinya. Dan itu hampir di semua perusahaan dan departmen. Misalnya pajak. Aku saat ini lagi dalam dilema antara terus bekerja atau berhenti. Karena aku tahu bahwa ada manipulasi di perusahaan. Dan aku merupakan bagian itu. Aku pernah bilang sama boss tentang hal ini. Tetapi jawabnya…...'kalau itu nggak kita lakukan perusahaan ini nggak bisa jalan, karena perusahaan yang lain semua melakukakannya'.”

?Dilematis! Kalau saya mau 'bersih', mestinya nggak harus bekerja di instansi ini. Aku berencana pingin ke luar, akan tetapi masih nunggu, hingga hutang-hutang lunas. Apa langkah yg saya lakukan ini benar??

Begitu kata Asri, seorang mak , karyawan sebuah perusahaan pada Jakarta beberapa saat lalu, saat dilanda galau menghadapi fenomena pada perusahaan tempat dia bekerja.

Di tengah-tengah gejolak para politikus yg berkampanye menggunakan galat satu visi dan misinya yang diantaranya ingin memberantas korupsi ini, sebagian besar kita ?Pesimis?.

Jujur saja, aku pernah melakukan korupsi. Demikian jua teman-sahabat lainnya, meskipun nir sekelas koruptor-koruptor kelas kakap, ulung, yang mengeruk kekayaan negara dan membawanya ke luar negeri.

Waktu itu besar gaji hanya 5 belas ribu Rupiah. Tinggal di asrama yang disediakan sang rumah sakit loka aku bekerja, makan jua tersedia. Dua puluh tahun kemudian, saya nggak tahu bagaimana orang menilainya, akan tetapi kalau dibandingkan honor pegawai negeri golongan IIA, honor tadi hanyalah 25%-nya. Saya dibayar menjadi energi honorer di sebuah tempat tinggal sakit pemerintah.

Sebagai energi honorer yang baru kerja, serba takut. Takut lantaran belum berpengalaman dalam poly bidang, galat satunya adalah soal uang ini.

Lambat laun aku ?Diajarin? Rekan-rekan senior, mengenai bagaimana bisa menerima uang ?Tambahan?. Saya 'terlena'. Kepingin menyobanya!

Sebagai yunior, kadang saya nggak mampu apa-apa kecuali ?Membenarkan nasehatnya?. Satu, 2, tiga, & entah berapa kali, akhirnya aku terbiasa mendapatkan uang-uang yg tidak higienis ini.

Alhamdulillah, akhirnya menyadari, bahwa lingkungan kerja semacam ini tidak mendidik secara moral. Saya pun pindah kerja!

Di loka kerja yang baru pun, ternyata, bukannya tambah baik. Rekan-rekan kerja yang gajinya masih pada bawah nomor penghasilan bulanan saya, sanggup gonta-ganti sandang setiap waktu, punya kendaraan bermotor, & kelihatannya selalu punya duit. Su?Udzon sih tidak, akan tetapi kita kan memakai kalkulasi logis. Di kantor, memang ada yg diklaim wilayah ?Basah? Dan terdapat pula daerah ?Kemarau?. Yang disebut pertama, sudah menjadi misteri generik.

Lambat laun aku terbiasa, ?Terdidik?, buat melipat-gandakan jumlah honor kerja lapangan pada luar honor rutin bulanan. Misalnya, aslinya kami bekerja hanya 8 jam seminggu di lapangan, kemudian diminta sang pimpinan untuk melipat-gandakan di atas kertas menjadi 32 jam, atau 400%. Sang pimpinan, meskipun tidak ikut kerja, namanya tercantum pada daftar pekerja lapangan. Sebagai seseorang staf aku nir bisa berbuat apa-apa. Sistemnya dari dulu seperti itu! Semua orang melakukannya.

Kepala Tata Usaha (KTU), jangan tanya! Hampir bisa dipastikan, setiap karyawan di kantor kami, ?Menyisipkan? Sejumlah uang ke sakunya, sebelum diterima di instansi kami.

Alhamdulillah, menggunakan donasi Allah SWT, yang ini tidak aku lakukan! Sementara karyawan lain, terdapat yang wajib mengangsur sesudah diterima jadi pegawai.

Malangnya, lebih kurang 10 tahun kemudian, saat saya telah tidak bekerja lagi di tempat kerja tadi karena pindah, sempat ketemu beliau, mantan KTU tersebut. Saya terharu dibuatnya. Beliau masih juga belum punya tempat tinggal ! Padahal sudah purna tugas, & anak-anaknya menginjak usia dewasa, bahkan bercucu.

Adakah ini impak menurut sebagian uang haram yg diperolehnya? Hanya Allah SWT Yang Maha Tahu!

Empat tahun kemudian aku pindah kerja lagi. Di institusi yang baru ini, milik sebuah yayasan terkenal di kota kami, terlihat ?Higienis?. Kultur kerja karyawannya terkenal: dedikasi tinggi, bebas korupsi! Sekilas slogannya memang begitu, bagi kami orang-orang ?Sipil?. Artinya, segala sesuatu yg menyangkut uang, dikendalikan oleh pelaku bebas korupsi.

Lama-kelamaan saya memahami, pekerja yg terdapat pada dalamnya yang duduk sebagai pengelola atau manajer di hampir seluruh departemen ini kelihatanya makin ?Makmur?.

Sambil kerja, aku sekolah lagi. Di bangku kuliah, sebuah universitas milik yayasan terkemuka, para dosen kami ini enak saja kalau absen. Seandainya nggak ngajar, mereka begitu saja biarkan jadwal-tinggal-jadwal, tanpa terdapat pemberitahuan pada mahasiswa. Apalagi mengubah jam-jam kosong.

Padahal, kalau kami, mahasiswa, jika terlambat bayar uang kuliah, didenda. Hanya mahasiswa terbelakang & malas yang ?Senang ? Bila dosen nya tidak datang.

Bukankah dosen-dosen macam ini merupakan model pengajar yg bermental korup?

Di perjalanan ke kampus setiap hari, saya biasa naik mikrolet yg berkapasitas delapan orang di belakang, serta dua orang pada depan termasuk sopir. Eh.......! Ternyata yang duduk bisa hingga 2 belas orang pada belakang & tiga orang pada depan termasuk si sopir. Apabila penumpang mengeluh soal overloaded, oleh sopir bilang: ?Naik aja taksi jika ingin lezat !? Itu belum lagi apabila penumpangnya ada yg gemuk, betapa tidak nyamannya naik transport ini. Padahal kita jua bayar kan?

Yang lezat , hidup pada desa barangkali! Bisa bebas berdasarkan aneka macam bentuk korupsi.

Kalau punya ladang atau sawah sendiri, itu yg digarap. Nyatanya, kemungkinan korupsi masih tetap ada. Di sawah kita pula sanggup korupsi, contohnya: air sawah! Kita mampu manfaatkan air yang mengalir secara nir adil. Jatah orang lain yg letaknya di belakang sawah kita nir terlalu kita perhatikan, alias kita penguasaan penggunaan airnya. Petani lain akhirnya gagal panennya karena ulah kita.

Wah! Jadi petani pun, juga nir sanggup lari dari kejaran kemungkinan menjadi pelakui korupsi.

Adik aku , lulusan IKIP, sampai sepuluh tahun terakhir ini statusnya masih guru nir permanen di sebuah sekolah partikelir. Saya bilang: itu lebih baik dibanding wajib ?Menyogok? Penjabat Depdiknas, yang istilah dia, sebesar dua puluh lima juta rupiah.

Beberapa orang tetangga aku semenjak 2 puluh tahun kemudian, sampai kini ini, masih pula memiliki satu ceritera yg tidak pernah berubah: korupsi dalam pencarian kerja! Jadi satpam pabrik, atau buruh pada pabrik plastik, mustahil tanpa KKN!

Kalau saya urut bentuk dan macam-macam korupsi yang terjadi di negeri ini, terlalu panjang buat ditulis. Sampai kapan hal ini berlangsung? Adakah pemimpin bangsa negeri ini concerned terhadap fenomena yang berlangsung layaknya flu allergica ini?

Saya berharap muncul kepemimpinan yang meneladani sosok Umar bin Khattab r.A. Atau Abu Bakar Sidik r.A. Mereka yg berani memberantas korupsi & amanah dalam tindakannya.

Manusia, apapun profesinya, apakah itu dokter, insinyur, perawat, pengajar, sopir, pedagang, biarawati, kyai, buruh pabrik, satpam, hingga petani, jikalau nir terkendali, semuanya rawan akan korupsi. Pelaku atau korban korupsi, kedua-duanya sama saja!

Manusia memang tidak akan pernah puas dengan apa yg dimiliknya. Guna pemenuhan kepuasan ini, banyak cara digunakan tanpa memandang halal atau haram.

Teman-sahabat kerja saya, hampir tidak pernah terdapat selesainya jikalau berbicara kasus kepuasan ini. Sudah punya HP Alcatel ingin Ericsson, kemudian mencoba Nokia. Tidak lama , ingin memiliki HP yang berkamera. Sekarang, mau mencoba pula yang bervideo-camera dilengkapi radio. Biarpun mereka berpenghasilan sepuluh juta per bulan, masih kurang. Seorang rekan kerja, berprofesi sebagai auditor keuangan, mengaku gajinya lebih berdasarkan tiga puluh juta, pula belum relatif pungkasnya. Astagfirullah!

Lingkungan kerja memang amat berpengaruh akbar dalam pembinaan moral korupsi ini. Itulah pengalaman yang saya temui. Dua puluh tahun bukankah saat yang relatif relatif buat mengevaluasi apakah lingkungan kerja kita berpotensi membuat kita menjadi seorang korup atau nir.

Betapapun salat lima waktu, pengajian seminggu 3 kali, jika sahabat-teman dalam lingkungan kerja kita homogen-rata terjerat dalam bulat korupsi ini, lantas akan berdiri pada mana kita?

Saya tidak merasa bersih, apalagi kudus. Tetapi melihat environment seperti ini, menciptakan aku akhirnya pindah-pindah kerja beberapa kali. Kalau kita mau ?Higienis?Di sebuah instansi, kita akan dianggap makhluk ?Aneh?. Tolong dirumuskan, bagaimana caranya menolak pertanda tangan uang yg disodorkan pada kita apabila kita dibayar tanpa melakukan sebuah tugas?

Apabila kita menolaknya, ketua bagian keuangan akan dibentuk repot. Repot karena penyusunan anggarannya kompeks sekali, termasuk pembagian ?Jatah? Tadi melalui perhitungan yg ?Njlimet?. Risiko lainnya, jika kita nir mau menerima duit tadi, kita dianggap sok kudus, atau akan dikucilkan teman-sahabat tempat kerja. Sementara bila mau menerima, ada perseteruan batin. Kita memakan duit bukan dari output keringat kita sendiri.

Ironisnya, bunda-ibu tempat tinggal tangga di sekitar kita, banyak yg kurang peka kasus ini. Mereka puas menggunakan apa yg sudah dibawa pergi suaminya. Bukannya menanyakan: ?Dari mana Pak datangnya seluruh duit ini??

?Kapan ya kita mampu terapkan kultur budaya tanpa harus korupsi ini?? Tanya dalam diri sendiri pada tengah-tengah proses demokrasi akbar yang sedang kita alami ini. Sosok yg mampu bebas korupsi ini barangkali misalnya profesi yang digeluti sang seseorang janda tua pada pinggiran Trenggalek-Jawa Timur sana. Mbok Giyem namanya, Dukun Beranak profesinya.

Di pada rumahnya, pada sebuah desa terpencil Dongko, di tengah gunung, saya hanya melihat sebuah amben mini , 2 buah kursi kayu yg telah kehitaman tergoda usia. Satu meja kecil di pojokan ruang tamu yang diatasnya tergeletak sebuah Partus Kit, perlengkapan menolong persalinan hadiah dari Puskesmas setempat.

Dukun beranak terampil ini, puas dengan kehidupan sehari-harinya, tanpa menuntut banyak kebutuhan hidupnya. Jika tidak ada bunda bersalin yg wajib dia kunjungi, atau bayi yang harus dia rawat, atau ibu hamil yang butuh pijat, dia bawa keranjang kecilnya ke ladang atau sawahnya. Dia cari apa-apa yg sanggup dikerjakan atau bekal masak secukupnya pada dapur rumah gedeknya.

Mbok Giyem berkata tidak pernah mematok harga berapa pasiennya wajib membayar jasanya, meski nenek tua itu harus naik-turun gunung pada tengah malam.

Entah telah berapa jumlah bayi yang telah lahir lewat pertolongannya. Di tengah kesulitan medan yang jauh menurut gemerlap hayati kota, digelutinya profesi langka ini menggunakan tulus.

Saya konfiden, nenek tua ini akan terkejut sekiranya mengetahui betapa dalam kehidupan kota, poly ditemui orang-orang yang berpendidikan tinggi, yang menyandang profesi yang tidak jauh dengan apa yang dia lakukan, nir lagi tulus menjalankan tanggung jawabnya.

Korupsi sudah lumrah & sebagai keseharian orang-orang di lingkungan kesehatan. Masuk ruang gawat darurat saja di poly tempat tinggal sakit sulit sekali. Bisa jadi mimpi apabila nir ada uang, betapapun darah mengalir deras, pelayanan kesehatan sanggup didapat. Uang dulu, nyawa kemudian!

Sebagai masyarakat negara, cita rasanya tidak berlebihan apabila kita berharap pada kepemimpinan mendatang nanti, seperti halnya kepemimpinan dua Khalifah diatas, Pemerintah kita mampu membawa bangsa ini pada prospek kehidupan yang lebih baik. Sesak cita rasanya nafas ini ketika korupsi hampir menyelimuti seluruh aspek kehidupan bernegara dan bermasyarakat kita.

Ketika saya kirim email dalam Rini, seorang karyawati di Jakarta, menanyakan sedang trend apa saat ini, beliau jawab, ?Kalau udara, tampaknya sedang trend pancaroba. Jadi, sebentar panassss? Kemudian gelap dan hujan. Makanya orang Indonesia baik & ramah, karena udara juga mendukung. Tidak misalnya pada UAE? Udara panas, jadi hati orang pun mungkin cepat panas!?

Apa yang disampaikan Rini mungkin terdapat benarnya, bahwa kondisi udara pada Indonesia membuat penduduknya nir harus cepat-cepat, apalagi tergesa-gesa dalam poly hal. Tidak seperti pada Inggris & Canada yg dingin sekali, atau negara-negara Arab sana yang panas menyengat. Namun kenapa pada negara-negara yang terlalu dingin ataupun terlalu panas udaranya ini, angka korupsinya justru minim sekali?

Apakah karena perilaku ramah-tamah kita ini, sebagai akibatnya buat memberantas korupsi pun kita masih wajib berlambat-ria?

Wallahu a?Lam!

By Syaifoel Hardy

Doha, 19 January 2013

hardy.Syaifoel@yahoo.Com

0 comments:

Post a Comment

close
Banner iklan disini