WHAT'S NEW?
Loading...

Menakar Peluang Perawat di Pentas Politik Tanah Air| Bloggout

Di level manajemen, sebagai pimpinan, sangat minim sekali Perawat yg mengisi jabatan strategis menjadi pengambil kebijakan. Di Rumah Sakit misalnya, paling tinggi jabatan Perawat hanya sebatas Kepala Bidang atau Kepala Bagian. Kalaupun itu ada sebagai direktur rumah sakit, sangat sedikit sekali.

Perawat jadi kepala wilayah & wakil warga (anggota dewan terhormat) contohnya, mungkin 0,01 persen saja yg pada isi sang Perawat. Maksudnya, terdapat kepala daerah dan anggota dewan yg mempunyai latar belakang Perawat, akan tetapi jumlahnya tidak melebihi dari jumlah jari yang ada di ke 2 telapak tangan.

Banyak faktor yg menghipnotis ini, terutama Perawat merupakan energi fungsional memang difungsikan buat memberi Asuhan Keperawatan pada pasien, bukan diperuntukan menjadi pejabat atau politikus. Kemudian, nir terpaparnya Perawat dengan budaya politik, serta budaya berorganisasi, kecuali ikut organisasi profesi yang diwajibkan.

Sungguh pun demikian, pada Indonesia, poly politikus yang asal dari banyak sekali latar belakang profesi, misalnya dokter misalnya, mereka ditempa pada kampus jua bukan buat jadi politikus, tapi mereka bisa mengisi jabatan strategis di kesehatan, di DPR & banyak terpilih sebagai kepala wilayah, bahkan jadi mentri.

Demikian jua dengan profesi lain, seperti pengajar contohnya, poly yg jadi kepala daerah, anggota dewan, jadi pejabat tertinggi suatu instansi pada luar bidangnya, termasuk jadi mentri. Sedangkan Perawat, nir pernah jadi mentri apapun sejak republik ini berdiri.

Dalam hal ini medianers berpendapat, meskipun Perawat sebagai sebagai tenaga fungsional, tidak tertutup peluang bagi Perawat ingin jadi politikus atau jadi pejabat tertinggi di negri ini, karena UUD menjamin itu, bahwa hak dan kewajiban setiap warga sama. Kepastian ini tertuang pada Pasal 28 D, UUD 1945 tentang Hak dan Kewajiban Warga Negara, yang berbunyi:

  1. Hak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di depan hukum;
  2. Hak untuk bekerja dan mendapat imbalan serta perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja;
  3. Hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Gender ikut menghipnotis, mayoritas profesi Perawat didominasi oleh perempuan . Tidak bermaksud mengkerdilkan peran perempuan , akan tetapi perempuan sedikit sekali tertarik dengan global politik, mereka cendrung memilih posisi aman & nyaman.

Demikian juga pendidikan. Pendidikan tinggi Perawat di Indonesia baru 15 tahun terakhir terbuka krannya, sebelumnya tamatan Perawat didominasi oleh lulusan SPK (setara SLTA). Hal ini, pernah medianers ulas di artikel berjudul Kapan Perawat Menjadi Mentri Kesehatan?

Semuanya bisa berubah, tergantung menurut profesi Perawat sendiri, hendaknya pada kampus, pihak pendidikan memberi porsi & ketika yang poly bagi mahasiswa Keperawatan buat aktif berorganisasi. Kemudian, insan Perawat juga harus berani berpikir, bertindak diluar kotak, bahwa jadi Perawat sanggup membuat, mensugesti kebijakan kesehatan, bahkan lebih dari itu, nir melulu merawat pasien saja. Melalui kebijakan, Perawat jua bisa memihak pada pasien & masyarakat.

Terakhir, telah saatnya, Perawat Indonesia mendukung tokoh Perawat di daerah anda buat merogoh jatah di legislatif, yang dalam akhirnya akan terdapat Perawat Indonesia mengisi pos-pos penting di pemerintahan. Sesungguhnya peluang itu ada & terbuka lebar.Semoga.(AntonWijaya).

0 comments:

Post a Comment

close
Banner iklan disini