WHAT'S NEW?
Loading...

Setelah Istrinya Dioperasi, Pak Polisi Beri Petugas Uang Seratus Ribu dan Gulai Kambing| Bloggout

Suami dari pasien yang pernah kami tolong, (operasi Sectio Caesaria) meninggalkan uang 'jajan' sejumlah seratus ribu rupiah, dan beberapa hari kemudian mengirimkan satu bungkus gulai kambing, sebagai bentuk rasa terima kasih.

Medianers ~ Pada suatu hari, ditengah malam buta, sekitar tahun 2012, ( persisnya saya tidak ingat lagi) telepon ruangan Instalasi Bedah Sentral (IBS) terus berdering.

Ketika saya angkat gagang, petugas Instalasi Gawat Darurat (IGD) memberitahukan bahwa, pasien hamil anak ke -4 , mengalami perdarahan hebat, dengan diagnosa Plasenta Previa, dikirim kebelakang (baca : IBS) untuk dilakukan tindakan operasi segera.

Berselang beberapa mnt, seseorang bapak paruh baya tergopoh-gopoh sembari memangku istrinya bergelimang darah yang tentang celana dan kaki bapak tadi. Ia mendatangi ruangan IBS, didampingi sang petugas IGD.

Sontak kami, (saya dan petugas IBS) terkejut, biasanya pasien diantar berdasarkan IGD menggunakan brankar. Namun, malam ini terdapat situasi tidak selaras.

Belakangan diketahui, bapak itu berprofesi sebagai Polisi Lalu Lintas pada keliru satu Kabupaten pada Sumatera Barat. Ia nir kuasa membiarkan istrinya dibawa memakai brankar, akan tetapi ia pangku & larikan dipenuhi rasa cemas, supaya cepat hingga di Kamar Operasi, Instalasi Bedah Sentral, Rumah Sakit milik daerah.

Berharap Tindakan Pembedahan Berjalan Lancar

Jelang masuk kamar operasi, Pak Polisi itu menitipkan pesan, " mohon lakukan yang terbaik buat istri aku pak," pintanya kepada petugas. Raut wajahnya terlihat sangat cemas akan keselamatan istrinya.

Ia pun sudah menandatangani persetujuan tindakan pembedahan (informed content), & siap mendapat segala resiko atau efek berdasarkan tindakan pembedahan.

Pastinya, demi keselamatan istri tercinta & kehadiran anak ke empat, pak Polisi nir berpikir panjang buat memberikan persetujuan sebagaimana Standar Prosedur Operasional (SPO) yg berlaku pada Rumah Sakit tersebut.

Peralatan pembedahan dan tim operasi, misalnya dua orang Perawat , satu orang Penata Anestesi dan satu dokter pakar Kebidanan segera melakukan pembedahan. Sedangkan pada luar Pak Polisi setia menunggu & harap-harap cemas.

Berjalan sekitar satu jam, tindakan pembedahan berjalan lancar, anak ke empat yang lahir dalam kondisi darurat itu pun keluar melalui dinding perut dengan selamat.

Sambil bekerja, galat seseorang teman bercerita, bahwa dia kena tilang tadi siang pada Kota, lantaran tidak mengenakan helm. Ia menyangka melewati jalur 'mancik' kondusif meski tak menggunakan kelengkapan mengendarai kendaraan. Tapi, kebetulan naas, beliau pun tertangkap dan ditilang.

Dari cerita teman itu, ditanggapi oleh pasien yang sedang siap-siap untuk dipindahkan ke ruang recovery, " siapa nama Polisi yang menilang pak?" kira-kira demikian tanggapannya.

"Saya nir ingat lagi namanya buk," jawab temannya saya.

"Oh ! Saya pikir suami saya. Yang tadi mengantar saya kesini. Suami saya juga Polisi Lalu lintas," ulas ibu yang baru saja dapat anak ke-4 melalui proses operasi, yang mana ia bisa ikut pula bercerita dengan petugas, karena biusnya hanya separuh badan (Spinal Anestesi), dari pusar hingga ujung kaki saja yang 'mati rasa'.

Setelah pasien dipindahkan kerecovery room, saya dan 2 orang teman lainnya membuat laporan diruangan kerja Perawat. Lalu, pak polisi, suami dari pasien izin bertanya kepada kami, terkait kondisi bayi dan istrinya.

Setelah dijelaskan bahwa kondisi istri & anaknya dalam keadaan kondusif & sedang dalam pemulihan, & planning beberapa mnt lagi akan dipindahkan ke ruang rawatan. Mendapat liputan itu, pak polisi terlihat bahagia sekali, wajahnya yang sebelumnya terlihat tegang, berubah jadi senyuman.

Lantas ia menyatakan bahwa, belum mendapat tempat perawatan, karena saat masuk belum melakukan registrasi dibagian administrasi. Ia berencana mau booking kelas satu. Seraya menanyakan berapa biayanya pada kami, mengingat kelahiran anak ke-4 menjadi tanggungan pribadi, tidak lagi dibayarkan oleh Askes (sekarang BPJS).

Mendengar itu, sahabat saya yg paling senior diantara kami bertiga menyarankan, nir usah dirawat pada kelas satu, demi menghemat biaya , karena biaya operasi sinkron peraturan wilayah tarifnya juga mengikuti berdasarkan kelas perawatan. Jika dirawat di kelas 1 harganya tentu lebih akbar dibanding kelas 2 & begitu seterusnya.

Sedangkan bila dirawat di kelas tiga, kemungkinan biaya holistik mungkin mampu berhemat lebih menurut 30 %, dan uang yg seharusnya dipakai buat kelas satu itu, sisanya mampu digunakan buat biaya Akikah anak. Kira-kira demikian saran teman saya.

Sang bapak mengiyakan, beliau seakan mendengar saran menggunakan akurat.

Teman aku pulang mengungkapkan, "apabila dirawat di kelas tiga pastinya masih ada kekurangan, misalnya ruangan terbatas lantaran diisi sang pasien lain yang bergabung dalam satu kamar yg hanya dipisahkan oleh loka tidur. Sedangkan pada kelas 1 tentunya lebih khas & fasilitas lebih rupawan. Namun pelayanan atau tindakan tidak dibedakan, kalau bapak sanggup bersabar, paling 3 hari telah boleh pergi."

Pak Polisi pun mengangguk, sambil pamit pulang mendaftarkan ruang perawatan untuk istrinya.

Pak Polisi Beri Petugas Kamar Operasi Uang Seratus Ribu Rupiah

Berselang setengah jam, pak polisi balik menemui kami. Ia menyatakan bahwa menentukan kelas 3 buat tempat perawatan istrinya. Lalu mengucapkan, " terima kasih banyak telah menolong istri & bayi saya," ucapnya sambil menyalami kami dan meletakan uang seratus ribu rupiah pada atas meja.

Ucapan terima kasihnya kami jawab, " sama-sama pak. Mudah-mudahan istrinya cepat sehat dan bayinya sebagai anak yang sholehah senantiasa," yg diwakili sahabat aku paling senior.

Kemudian, uang yang ditaruh pada atas meja diambil oleh sahabat saya dan dikembalikan kepada pak polisi, dibarengi ucapan, " terima kasih pak atas pemberiannya, kami tulus membantu, ini merupakan tugas kami, & sudah digaji tiap bulan buat melakukan pekerjaan ini," demikian tolak teman saya.

Pak Polisi pun merespon, bahwa beliau jua sangat ikhlas memberi uang itu, hanya buat membeli cemilan & minuman. "Saya tidak tau lagi caranya menyampaikan rasa terima kasih, ambillah uang itu pak, sekedar buat beli kopi dan gorengan. Terimalah, mohon jangan lihat nilainya, akan tetapi saya berharap bapak menerimanya," pinta pak polisi itu.

Kondisi ini baru pertama kali aku temui, dikasih uang sang keluarga pasien. Tetapi, dulu sewaktu mahasiswa ketika praktek pada tempat tinggal sakit pendidikan, pernah diberi butir-buahan dan kue, akan tetapi saya menolak menggunakan halus. Keluarga pasien yg merasa terbantu & menerima pelayanan sinkron baku mereka terkadang 'ngotot' meninggalkan kuliner pada meja kerja,jelang mereka boleh pergi.

Dalam pelajaran Etika Keperawatan mendapat hadiah atau tips dari pasien & keluarga tidak dibolehkan pada Perawat, tetapi menolak hadiah pasien & famili pula terasa tabu, menimbang perasaan si pemberi. Sehingga ini sebagai dilema.

Akhirnya, dengan berat hati kami mendapat uang pemberian pak polisi, karena dia memohon uang itu dipakai buat makan malam.

Tiga hari berlalu, istri dan bayi pak polisi telah dibolehkan pulang. Sekitar satu bulan berikutnya saya mendapat telpon dari tim kamar operasi, bahwa pak polisi memberi kami gulai kambing melalui orang suruhannya. Gulai kambing tersebut merupakan Akikah anaknya yang lahir di kamar operasi. (AntonWijaya)

0 comments:

Post a Comment

close
Banner iklan disini