WHAT'S NEW?
Loading...

Perawat Tanpa Dokter Suram, Dokter Tanpa Perawat Kelam| Bloggout

Ilustrasi bentuk kerjasama antara dokter dan perawat

di kamar operasi/ photo: Nurman Medianers ~ Judul artikel ini tidak bermaksud mengkerdilkan peran profesi kesehatan lainnya di kesehatan, dan juga tidak menggiring opini bahwa di kesehatan itu hanya ada dua profesi saja yaitu Perawat dan dokter. Tapi, medianers mengupas dua profesi ini hanya karena mereka selalu dan sering bersama dimana ada dokter disitu ada Perawat. Tapi, dua profesi ini pula yang sulit menjalin kerjasama, cendrung mengemukakan ego sektoral. Padahal antara dokter dan Perawat itu, hendaknya ibarat aur dengan tebing, saling sangga-menyangga.

Perawat Tanpa Dokter Suram, Itu Apa Maksudnya?

Hentikanlah bergigih dan mengklaim bahwa tanpa Perawat, dokter tidak akan mampu bekerja. Sebab, jika pada balik Perawat bisa apa jikalau nir terdapat dokter? Jadi usahakan bagaimana menaikkan kemitraan yg handal antara Perawat & dokter dimana saja, juga pada situasi apapun juga.

Perawat ingin diakui, ingin dihargai oleh dokter serta ingin dijadikan sebagai mitra diskusi dan kolaborasi. Pertanyaanya, apakah Perawat sudah mampu untuk itu? Jika jawabnya belum, maka pantas saja Perawat belum mendapatkannya. Dalam dunia ilmiah, tidak mengenal usia, bagak dan lainnya. Tapi yang dihargai itu adalah ilmu pengetahuan dan skill yang dimiliki seseorang. Mampu berargumentasi, mampu memberi penelaahan sesuai kaidah keilmuan. Bukan hanya mampu menjawab berdasarkan asumsi, duga dan kira. Jika hanya duga dan kira, coba siapa yang mau mendiskusikan tentang kesehatan pasien?

Benarkah Dokter Tanpa Perawat Kelam?

Terlepas apakah itu sahih atau galat, bagi penulis nir penting. Yang krusial itu adalah bagaimana memanfaatkan kerjasama antara Perawat dan Dokter yang saling menguntungkan. Menguntungkan bagi pasien & masyarakat, & pastinya menguntungkan pula bagi kedua profesi tadi pada pelayanan kesehatan.

Jika ingin mengambarkan bahwa tanpa Perawat, dokter akan sebagai kelam, gelap & lain sebagainya maka tunjukan dengan profesionalisme. Misal tanpa Perawat, dokter nir bisa melakukan tindakan apa-apa, misalnya tindakan operasi menjadi batal, hadiah terapi pada pasien jadi gagal, dan lain-lain. Apabila itu terbukti, maka Perawat nir perlu menuntut penghargaan ingin pada ajak kolaborasi atau kerjasama, tanpa disadari ternyata Perawat sudah bagian menurut kerjasama & kerja sama yang pada inginkan.

Dokter Dihargai Lantaran Menguasai Spesialisasinya

Inilah kelebihan profesi dokter, mereka dihargai lantaran keahlian khusus yg dia miliki. Bilamana satu dokter tidak mampu melakukan tindakan pengobatan, maka beliau akan merujuk pada dokter lainnya yang lebih menguasai dengan detil, seperti dokter ahli sub. Dokter pakar sub itu adalah lebih seorang ahli lagi dari seorang ahli.

Bagaimana menggunakan Perawat?

Dewasa ini, Perawat masih sibuk dengan namanya rotasi dan 'penyegaran' pindah antar ruangan. Perawat yang mahir dengan Intensive Care Unit (ICU) bisa saja dipindahkan ke ruang rawatan penyakit anak atau penyakit dalam, karena faktor politis, yang bertamengkan ' penyegaran'. Bila ini keseringan, kapan Perawat bisa ahli atau mahir di satu bidang? Yang bisa di ajak dokter ahli untuk berdiskusi?

Kemudian, Perawat yg melanjutkan pendidikan ke jenjang spesialis, terkesan makin jauh saja menurut pasien. Cendrung lari ke perguruan tinggi sebagai dosen. Ini perbedaan mencolok antara dokter & Perawat. Dokter dengan tinggi dan sedetil apapun pendidikan spesialisasinya, beliau akan permanen melayani pasien pada tempat tinggal sakit, kendatipun dia bertugas juga menjadi guru pada perguruan tinggi. Tetapi, tetap menjalankan profesinya di tempat tinggal sakit.

Jadi, akan nir seimbang bilamana seseorang dokter ahli berdiskusi dengan Perawat tamatan Akademi Keperawatan atau Ners. Kecuali Perawat tersebut sudah berkarat pada unit eksklusif dan sering mengikuti training spesialisasi. Seperti Uda Jon contohnya, sahabat penulis yang sudah pensiun, dulu dinas di poli mata, sangat dianggap sang dokter ahli mata. Apabila dokter pakar mata tidak pada loka, maka Uda Jon lah penggantinya. Dimasa pensiunnya Uda jon masih berkarir di bidang perawatan poli mata dengan membuka praktek optical.

Demikian pula dengan Uda Hendra, banyak operator yg mengajak & mempercayai dia sebagai 'tandem' dokter ahli lakukan pembedahan, seperti operasi THT dan operasi Kebidanan. Lantaran apa? Lantaran dia telah puluhan tahun dinas pada kamar operasi dan sangat menguasai teknik pembedahan, baik bedah generik, THT juga Kebidanan.

Apabila Perawat tiap sebentar di rotasi, dipindahkan berdasarkan ruang rawat satu ke ruang rawat lainnya, kapan Perawat tadi menguasai satu keahlian? Sebagaimana yang dimiliki dokter pakar. Sementara Perawat yg memiliki latar belakang pendidikan spesialisasi keperawatan masih enggan menjalankan praktek keperawatan pada rumah sakit, yang semestinya mereka lah sebagai pelopor kemajuan praktek dan keahlian keperawatan pada tempat tinggal sakit, supaya penghargaan itu tiba, berkat ilmu pengetahuan & skill Perawat sanggup pada pandang ilmiah & bersiklus menggunakan baik.

Di atas kertas memang ijazah penentu syarat profesionalisme, namun pada lapangan skill & pengalaman menjadi faktor penentu. Apabila Perawat ingin profesional, tidak saja dilihat dari pendidikannya, tapi pula dievaluasi kemampuan praktisnya pada menjalankan asuhan keperawatan juga tindakan serta skill dalam menjalankannya. Teori penting, namun praktek jauh lebih krusial.

Solusi & Kesimpulan

Penghargaan jangan diminta pada profesi lain atau pun pada pasien & rakyat. Tapi, Perawat akan dihargai bilamana dia dan orang-orang yang ada di profesi Keperawatan sendiri mau berbenah dan menghargai profesinya.

Terkait : Bentuk Kerjasama Perawat, Bidan dan Dokter di Rumah Sakit
Jangan menempatkan Perawat di sembarang tempat. Bila ia memiliki latar belakang mahir Intensive Care Unit (ICU), maka jika ia ingin 'disegarkan' atau dipindahkan oleh manajer Keperawatan di Rumah Sakit, sebaiknya beri ia pendidikan dan pelatihan Intensive Cardiovaskuler Care Unit (ICCU) dan ditempatkan di ruangan tersebut. Atau kalau biasanya ia dinas di ruang rawat anak maka sangat relevan ia dipindahkan ke ruang Perinatologi dan Perawat yang bermasalah di ruang Perinatologi, maka sangat pantas diberi pendidikan dan pelatihan untuk ditempatkan di ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU).

Bukan bertindak kebalikannya, memindahkan berdasarkan subyektifitas, lantaran politis dan lain hal yang tidak terkait dengan profesionalisme. Misal Perawat yg biasa dinas di ICU, ditempatkan di ruang rawat anak atau di poliklinik, lantas apa yg akan beliau lakukan disana? Dan penggantinya di ICU pula akan kebingungan. Sementara masihkah bisa dokter mengajak orang baru yg belum mengerti apa-apa di ruang tadi buat berkolaborasi?

Selain menjalankan azas proporsional pada penempatan energi Perawat. Hendaknya pendidikan & pelatihan spesifik buat menunjang wawasan & ilmu pengetahuan merupakan tanggung jawab eksklusif dan instansi loka Perawat bekerja. Beri setiap Perawat peluang yg sama dalam melanjutkan pendidikan & training spesifik sinkron latar belakang peminatannya. Misal, support Perawat dinas di ruang penyakit dalam buat mengikuti pembinaan EKG, atau pelatihan kekhususan mengenai hormon dan organ, misalnya endokrinologi, jantung & ginjal. Jadi, masing-masing Perawat yang dinas pada ruang Penyakit pada memiliki satu orang, satu keahlian. Perawat A, pakar bidang endokrin, dan Perawat B ahli bidang ekuilibrium cairan tubuh, asam & basa contohnya.

Terakhir, jangan harapkan perubahan di profesi Perawat, bilamana Perawat sendiri tidak mau berubah dan mau berbenah serta mau belajar untuk mengambil spesialisasi meskipun diselenggarakan secara informal. Nah, jika telah berubah mindset, insha allah penghargaan itu akan datang sendirinya tanpa diminta-minta pada orang lain. Kalau menurut anda? (AntonWijaya)

0 comments:

Post a Comment

close
Banner iklan disini