WHAT'S NEW?
Loading...

Tanggapan Pendiri Pelatihan BTCLS, ACLS Terkait Menjamurnya Pemateri Abal-Abal| Bloggout

" Tahun 1994 saya pergi ke Chicago buat mengikuti pembinaan ATLS. Setelah mengikuti kursus tadi saya berkeinginan buat "membawadanquot; kursus tersebut ke Indonesia agar nir terdapat lagi pasien yang "mati konyoldanquot; dan derajat pelayanan gawat darurat di Indonesia sama seperti pada Amerika & negara lainnya.

Karena dari saya, setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dengan kualitas terbaik & itu adalah hak asasi manusia. Setahun lamanya aku berkomunikasi intensif dengan American College of Surgeon sebagai "pemilikdanquot; menurut kursus tadi serta mencari jalan agar kursus tersebut masuk. Tidak sedikit upaya materiil & Non materiil yg aku upayakan supaya dokter di Indonesia memiliki kualitas yang sama dengan dokter pada Amerika Serikat.

Tahun 1995 ATLS pertama kali di selenggarakan di RSCM dengan course director dari Amerika Serikat (Chairman of The Commitee on Trauma ACS) dan instruktur2 menurut USA, Australia (RACS).

Di tahun yang sama ToT ATLS pertama kali pada adakan pada Bali krn ToT ATLS adalah absolut buat seseorang bisa sebagai pelatih ATLS.

Tahun 1997 aku mengirimkan (menggunakan dana langsung aku ) 1 orang karyawan AGD 118 ke Montana Amerika Serikat buat mengikuti kursus make up/moulage buat pasien. Dengan segala keterbatasan bahasa & lantaran interaksi baik pribadi antara aku & pihak Amerika selaku penyelenggara kursus moulage maka karyawan tadi pada luluskan dengan catatan.

Tahun yg sama saya juga mengirimkan seseorang yang akan sebagai edukator ATLS & sampai menggunakan waktu ini masih menjadi edukator ATLS buat Indonesia dan aku percayakan pula utk mnjadi edukator bagi BTLS dan BCLS. Saat itu kursus gawat darurat buat dokter masih sangat sporadis apalagi buat energi medis lainnya.

Saya melibatkan perawat-perawat pada AGD 118 sebagai koordinator dan asisten laboratorium hewan pada kursus tadi. Saya melihat ketimpangan ilmu antara dokter dan perawat pada penanganan gawat darurat.

Tahun 1998 saya dan dokter bedah lainnya serta melibatkan Dr Suryadi dan Dr Jetty Sedyawan untuk menyusun modul BT&CLS untuk perawat dan di ujicoba kan di AGD 118 pertama kali. Tujuan saya mengembangkan kursus tersebut sama seperti saya membawa kursus ATLS ke Indonesia.

Untuk pasien dan peningkatan kualitas pelayanan dan kesetaraan ilmu antara dokter dan perawat. Saya menilai, apabila hanya dokter yg terlatih namun perawat sebagai partner kerja tidak mempunyai pengetahuan yang sama maka pelayanan yang di dapat tidak optimum.

Padahal di ATLS di sebutkan apabila pelayanan tersebut tidak optimum maka pasien tersebut harus di rujuk. Perawat-perawat di AGD 118 sangat saya percaya dan saya serahkan kursus ini ke mereka karena tujuan saya mendirikan 118 adalah untuk perawat dan oleh perawat dalam pelayanan pd masyarakat.

Di AGD 118 saya tanamkan tidak boleh selalu puas dengan keadaan sekarang, tahun 2012 kursus Advanced Trauma Care for Nurses (ATCN) di kenalkan di Indonesia. Kursus ini resmi dan merupakan hak paten dan memang di buat oleh The American College of Surgeon (selaku pemegang lisensi ATLS) untuk perawat.

Saya ingin perawat di Indonesia sama derajat dan kualitas dengan perawat di dunia lainnya. BT&CLS merupakan kursus lokal yang saya buat bersama rekan-rekan dokter bedah dan Dr jantung. Saat ini saya mendengar banyak pihak yang mengaku membuat bahkan tidak jarang men-copy kursus tersebut tanpa memahami esensi mengapa kursus tersebut di buat.

Banyak yg melakukan pelatihan sepet diatas tetapi tanpa mengerti perkembangan ilmu yg sangat pesat dan karena itu selalu kita terbitkan buku BTLS dan BCLS Edisi baru sesuai perkembangan ilmu. Sayang sekali pelaku2 pelatihan2 (spt yg dilakukan) oleh AGD 118 - tdk dpt mengikuti perkembangan ilmu dan instruktur2nya tidak terakreditasi oleh AHA dan ACS. Sehingga sampai sekarang masih banyak pasien2 gawat darurat yg meninggalnya masih Not Acceptable spt yg terjadi pada meraka yg mudik lebaran.

Tulisan ini saya buat untuk meluruskan tujuan awal dari pembentukan kursus BTCLS. " Ungkap Prof DR Dr Aryono Djuned Pusponegoro SpB KBD sebagaimana yang di share di salah satu grup media sosial oleh dr. Syaiful Saanin ahli bedah syaraf yang juga pentolan AGD 118 di RSUP dr M Djamil Padang, sekaligus sebagai narasumber tetap setiap ada pelatihan PPGD di Sumatera Barat.

Tulisan tersebut juga di komentari oleh Perawat senior yang berdomisili di Padang dan pernah bekerja di salah satu Rumah Sakit di Jepang, yakni Hendri Wijaya, ini tulisnya "Minimalnya tolong hargai upaya orang untuk membuat menjadi sebuah sistim program pelatihan seperti ini, jangan biasa kan jadi maling. Ini namanya mencuri intelektualitas."

Kemudian Uda Hen menambahkan," Khusus untuk rekan perawat, dengan menyatakan kita mampu menjadi pendidik btcls, berarti kita mempunyai keahlian setara perawat amerika. Klo belum merasa setara, jangan bohongi peserta didik hanya untuk mendapatkan materi dan keuntungan semata, karena taruhannya adalah nyawa korban. Tolong renungkan bagi rekan2 yang akan membuat pelatihan btcls atau bertindak sebagai trainer, sudah mampu kah kita? Sudah kah pernah melakukan cricothyroidectomy, pernahkah menggunakan automated external defibrilator? Nah jgn bohongi peserta didik." Tambahnya mengomentari.

Kesimpulan, bagi sejawat Perawat dan tenaga kesehatan lainnya, mari berhati-hati mengikuti pelatihan, cari tau dulu narasumber trainer atau pemateri BTCLS dan ACLS yang akan diikuti. Bagaimana kualifikasi dan latar belakang pematerinya? Apakah sesuai rekomendasi? Serta kenali apakah penyelenggara mengadakan semata demi bisnis tanpa mempedulikan out put ? Atau hanya sekedar mengejar SKP,dll maka sebaiknya tidak usah mendaftarkan diri.(editor:AW)

0 comments:

Post a Comment

close
Banner iklan disini