WHAT'S NEW?
Loading...

Sejarah, Abad 19 Indonesia Diserang Virus Berbahaya| Bloggout

Medianers ~ Pada Abad 19, tepatnya tahun 1918 bangsa Indonesia, saat itu bernama Hindia Belanda pernah diserang virus berbahaya. Koran Sumatra Post menulisnya sebagai Penjakit Rakjat. Sedangkan harian Sin Po dan surat kabar Pewarta Soerabaia menyebut wabah tersebut sebagai penjakit aneh, atau penjakit rahasia, dan pilek spanje.

Diadopsi dari situs Historia, penyakit dimaksud adalah influenza Spanyol, yaitu wabah yang sedang menjadi pandemi dunia bermula dari Spanyol. Awal virus masuk ke Hindia Belanda sekitar bulan Juli 1918, masih banyak yang tergagap cara penanganannya, bahkan dianggap sebagai penyakit aneh atau penyakit rahasia.

Bahkan pemerintah Hindia Belanda sempat galat kaprah menduga serangan Flu Spanyol menjadi kolera. Virus tersebut menjalar dengan cepat & mengamuk menggunakan sangat ganas. Pemerintah Hindia Belanda mencatat, virus ini pertamakali dibawa oleh penumpang kapal dari Malaysia dan Singapura dan menyebar lewat Sumatera Utara.

Kemudian, virus mulai menyebar menyerang kota-kota besar di pulau Jawa. Burgerlijken Geneeskundigen Dienst (Dinas Kesehatan Sipil) Hindia Belanda mengatasinya dengan vaksinasi kolera di tiap daerah. Kesalahan penanganan itu menyebabkan jumlah korban semakin banyak.

Dalam hitungan minggu, virus menyebar secara masif ke Jawa Barat (Bandung), Jawa Tengah (Purworejo dan Kudus), dan Jawa Timur (Kertosono, Surabaya, & Jatiroto). Dari Jawa, virus menjangkiti Kalimantan (Banjarmasin & Pulau Laut), sebelum mencapai Bali, Sulawesi, dan pulau-pulau mini di sekitarnya.

Memasuki Oktober 1918, virus sudah mencapai pulau-pulau kecil di kurang lebih Kepulauan Sunda. Sebulan berselang, virus telah mencapai Papua & Maluku, 10 berdasarkan 1000 orang mangkat dampak flu ini.

Menurut Oetoesan Hindia, lebih dari 10 persen populasi meninggal akibat keganasan virus ini. Sementara, 60 persen penduduk Makassar yang berjumlah sekitar 26.000 jiwa dilaporkan terjangkit dan 6 persen dari mereka tewas.

Dihimpun dari Historia, Burgerlijken Geneeskundigen Dienst (BGD)sadar akan kekeliruannya dan menyimpulan bahwa, gejala Flu Spanyol menganggap layaknya flu biasa. Adapun gejala dirasakan penderita pilek berat, batuk kering, bersin-bersin, dan sakit kepala akut. Dalam beberapa hari, otot terasa sakit dan disusul demam tinggi.

Gejala generik lainnya, mimisan, muntah-muntah, menggigil, diare, & herpes. Pada hari keempat atau kelima, virus telah menyebar hingga ke paru-paru. Dalam banyak masalah, gejala itu berkembang sebagai pneumonia. Bila penderita sudah sampai dalam tahapan ini, mini kemungkinan bisa bertahan.

Seluruh tempat tinggal sakit mendadak kebanjiran pasien hingga harus menolak poly pasien karena keterbatasan kamar. Dokter , perawat & petugas kesehatan nir sanggup berbuat poly karena secara umum dikuasai dari mereka belum pernah melihat gejala penyakit seperti itu. Mereka hanya bisa merekomendasikan kina dan aspirin buat menurunkan panas sang pasien.

Dicuplik dari Historia bahwa, "menurut Koloniaal Weekblad (1919), masing-masing dokter di Makassar harus bertanggungjawab terhadap nasib 800 pasien. Saking frustasinya, dalam sebuah rapat regional di Rembang, Dr. Deggeler sampai menyatakan bahwa tidak ada obat untuk menyembuhkan penyakit itu."

Dalam rapat Volskraad, Dr. Abdul Rivai menyebutkan bahwa pandemi telah menjangkiti lima persen dari total populasi di Surabaya. Di Pasuruan, mayat-mayat terpaksa dibaringkan di jalan karena banyak penggali kubur terjangkiti virus tersebut. Koloniaal Weekblad (1919) menuliskan, "influenza masih mengamuk di berbagai wilayah Kalimantan pada akhir Desember 1918."

Menurut laporan Zendeling Borch, sebagaimana disiarkan Historia, "banyak penduduk meninggal akibat influenza dan pneumonia, biasanya didahului dengan demam tinggi hingga 41 derajat Celsius."

Gelombang kedua Flu Spanyol terjadi pada Oktober-Desember 1918 meski di beberapa tempat, terutama di kawasan timur, berlangsung hingga akhir Januari 1919. Pewarta Soerabaia melaporkan, virus masih mengganas di Buton pada awal Januari 1919. Kasus kematian juga terjadi di beberapa perkebunan di Sumatera, yang dilaporkan Harian Andalas.

Sin Po menyebutkan Flu Spanyol membuat beberapa perkebunan di Jawa Barat menderita. Sebanyak 200 pekerja di Wanasukan terinfeksi pandemi sehingga tidak dapat bekerja. Kondisi serupa terjadi di Talun, mengakibatkan produksi kopi terhambat.

Di Padang, kegiatan belajar-mengajar di Sekolah Adabiah dihentikan karena mayoritas murid dan gurunya terinfeksi Flu Spanyol. Begitu juga dengan Kartinischool Goenoeng Sari dan Kweekschool Goenoeng Sari di Batavia dan HIS Gorontalo.

Laporan BGD tahun 1920 menjelaskan, ?Seloeroeh desa pada Hindia Olanda hampir tidak ada jang nir terinfeksi oleh penjakit flu." Akibatnya, dari laporan itu, "pintu tempat tinggal tertutup. Jalan-jalan begitu lengang. Anak-anak menangis di dalam rumah karena merasa lapar dan haus. Banyak hewan bahkan meninggal kelaparan. Hari-hari tersebut sangat penuh dengan kesengsaraan."

Tidak diketahui pasti berapa jumlah korban Flu Spanyol di Hindia mengingat jumlah penduduk Indonesia waktu itu belum diketahui secara pasti & sensus pertama baru diadakan pemerintah kolonial dalam 1920 sebagai akibatnya akbar kemungkinan korban Flu Spanyol pada daerah-daerah terpencil tidak tercatat.

Pewarta Soerabaia menyebutkan, hingga 23 November 1918, jumlah korban meninggal akibat berbagai wabah penyakit di Indonesia mencapai 1,5 juta jiwa dan mayoritas adalah korban Flu Spanyol.

Sementara menurut Colin Brown dalam The Influenza Pandemic of 1918 in Indonesia, korban Flu Spanyol di Indonesia sebanyak 1,5 juta jiwa. Flu Spanyol mengakibatkan peningkatan persentase angka kematian di berbagai wilayah di Jawa Tengah dan Jawa Timur hingga dua kali lipat, bahkan lebih.

Dinukil dari buku Priyanto Wibowo, dkk berjudul, Yang Terlupakan, Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belandamenuliskan (2009), Indonesia sebagai salah satu wilayah berdaulat di dunia, akan dan tetap rentan terkena dampak pandemi influenza.

Sejarah sudah menegaskannya. Penelitian sejarah pandemi influenza 1918 di Hindia Belanda menyatakan bahwa negara ini punya berbagai pintu masuk buat berjangkitnya wabah yang merebak di negara lain.

Melalui bukunya Priyanto Wibowo, dkk berpesan bahwa, penangangan influenza harus melibatkan seluruh sektor, nir hanya kesehatan bahwa ego individu dan kepentingan kelompok wajib dikesampingkan jika ingin pandemi infuenza bisa teratasi dengan cepat, supaya bisa menyelamatkan sebesar mungkin manusia.

Oleh karena itu, kelanjutan penelitian tentang sejarah penyakit semacam ini masih sangat diharapkan. Agar bisa

dipakai sebagai bentuk peringatan, baik bagi pemerintah juga masyarakat

umum, tentang perlunya mencari sebanyak-banyaknya informasi dan referensi penanganan pandemi influenza pada masa lalu. (Nurman).

Rujukan :

  1. Ravando Lie. 2020. Seabad Flu Spanyol . Jakarta : Historia.
  2. Priyanto Wibowo, dkk. 2009. Yang Terlupakan, Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI

0 comments:

Post a Comment

close
Banner iklan disini