Kaderisasi Kepemimpinan Ditubuh PPNI| Bloggout

Medianers ~ Jumlah perawat terdaftar sebagai anggota PPNI lebih dari 456 ribu, (2018). Jumlah itu, berpotensi bertambah tiap tahun. Artinya, PPNI adalah organisasi besar. Jika diberdayakan, maka akan menjadi sebuah kekuatan besar untuk mencapai kekuasaan, atau setidaknya akan meningkatkan daya tawar seseorang bila memiliki kesempatan menjadi ketua PPNI.

Hari ini, dan kemungkinan seterusnya, menjadi ketua DPW-PPNI dan DPP-PPNI terlihat menggiurkan. Karena dapat meningkatkan personal branding  menuju tokoh nasional. Seperti Dr. Edy Wuryanto, SKp., M.Kep, ketua DPW-PPNI Jawa Tengah misalnya, sukses mendapat dukungan dari anggota PPNI dan dari berbagai elemen masyarakat, sehingga beliau lolos ke Senayan menjadi anggota DPR-RI Komisi IX.

Langkah Edy Wuryanto, selanjutnya disingkat EW,  patut diacungi jempol. Beliau membuka jalan, juga sosok perintis hingga perawat bisa ke Senayan. Decak kagum kepada beliau banyak dialamatkan oleh perawat Indonesia, termasuk penulis sendiri. Namun ketika EW diapungkan menjadi bakal calon ketua umum DPP-PPNI pada Munas Bali 2020 mendatang, membuat penulis mengerinyitkan dahi.

Hemat penulis, sepantasnya,  EW didukung menuntaskan janjinya semasa kampanye. Dan sangat penting, EW melakukan regenerasi dan kaderisasi di tubuh PPNI. Karena ia contoh teladan yang baik bagi perawat, mampu melisensi diri menjadi tokoh nasional. Seandainya diseret kembali mencalonkan diri sebagai ketum DPP- PPNI, maka sama saja langkah mundur. Sepatutnya beliau di level pembina PPNI.

Ilustrasi oleh Canva.

Selain itu, arena kompetisi EW menurut penulis, tidak lagi di organisasi profesi, tapi tingkat partai, dan organisasi sosial kemasyarakatan lainnya. Berbekal pengalaman sebagai ketua DPW-PPNI Jawa Tengah setidaknya, ia cukup layak dan diperhitungkan melebarkan sayap organisasi di luar organisasi profesi. Hendaknya, EW didukung penuh oleh anggota PPNI menuju itu, bukan lagi sebagai ketua PPNI.

Barangkali pembaca menilai maksud & tujuan penulis arahnya kemana? Apakah melarang EW buat diapungkan, atau mendukung pulang incumbent, Harif Fadhillah buat dua priode memimpin DPP-PPNI? Mungkin demikian. Sebetulnya tidak, pada negara demokrasi kita boleh mengemukakan pendapat demi menuju Indonesia maju.

Sebetulnya, penulis ingin menaruh kebanggaan kepada Harif Fadhilah, seterusnya disingkat HF. Karena dia telah lama mengabdikan diri pada DPP-PPNI. Dia pernah jadi sekretaris umum dan ketika ini masih ketum PPNI. Sebagai anggota, penulis patut berterima kasih kepadanya, lantaran telah usang mendedikasikan diri demi kejayaan profesi perawat.

Bahkan, penulis juga sangat mendukung HF melakukan regenerasi dan kaderisasi pada tubuh PPNI. Munculkan pemimpin baru pada DPP-PPNI. Serta mulai melirik posisi strategis pada kancah nasional. Ketika HF beserta rombongan melakukan rendezvous dengan presiden Jokowi pada Istana, serta kedatangan Menkes, dokter Terawan ke Graha PPNI didampingi EW. Patut diapresiasi. Sepantasnya, nir dicemooh. Apa lagi dibenturkan antara HF dan EW pada rangka pencitraan menuju kursi 1 DPP-PPNI tahun 2020.

Idealnya, HF & EW saling bersinergi. Mayoritas tokoh nasional lahir menurut organisasi profesi, juga menurut organisasi sosial kemasyarakatan. Dari organisasi profesi misalnya adalah dokter Fachmi Idris. Beliau pernah menjabat kepala umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI, 2006-2009). Saat ini sebagai direktur BPJS Kesehatan. Dan, masih poly model pemimpin nasional lahir dari organisasi profesi juga berdasarkan organisasi sosial kemasyarakatan yg tidak perlu dituliskan satu-persatu di sini.

Pertanyaannya, apakah perawat tidak rindu, sejawatnya juga seperti itu? Menjadi pemimpin di negri ini?  Bukan sebatas pemimpin organisasi profesi saja. Tapi, lahir dari organisasi profesi menjadi direktur salah satu perusahaan BUMN atau bahkan menjadi mentri kesehatan suatu saat nanti. Untuk itu, saatnya HF menuju itu, dan melakukan regenerasi serta kaderisasi. Mulailah melirik potensi di luar PPNI. (Nurman)

Baca juga : Pemilihan Ketua PPNI Diiringi Kekecewaan dan Tangisan